15 Agustus 2009

MENUJU KESEMPURNAAN MUSLIM


Tujuan Tarbiyah diantaranya adalah melahirkan seorang muslim yang sempurna.

Bagaimana menjadi muslim yang sempurna?


Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam secara keseluruhan (total), dan janganlah kamu turut langkah-langkah syaitan. Sesungguhnya syaitan itu musuh yang nyata bagimu. (Al Baqarah: 208)

Hidayah iman dan islam sejatinya adalah nikmat yang paling mahal tiada ternilai yang Allah swt karuniakan kepada manusia. Hanya dengan keimanan manusia akan mendapatkan kemenangan. Hanya dengan Islam manusia akan menemukan keharmonian, ketenangan dan kebahagiaan tidak saja dalam kehidupan dunia bahkan sampai di kehidupan akhirat.

Banyak di antara kita menjadi muslim lantaran warisan. Sebagian kita menyandang status muslim karena lahir dari bapak-ibu yang muslim dan tumbuh besar dalam keluarga yang muslim. Namun dalam kehidupan keseharian terkadang sikap dan perilaku kita belum mencerminkan ajaran-ajaran Islam. Bahkan, boleh jadi banyak sikap dan perilaku kita justru mengikuti gaya dan nilai-nilai di luar Islam. Kalaulah ajaran dan nilai-nilai Islam ada di suatu tempat maka sikap dan perilaku sebagian kita sebagai umatnya ada di lembah yang lain. Dalam ungkapan yang lain orang menyebutnya dengan “Islam KTP”, artinya keislaman seseorang hanya sebatas status dan keterangan identitas diri.

Sebagai seorang muslim kita dituntut menjadi muslim yang total dan sempurna. Ada minimal tiga hal yang harus kita wujudkan dalam diri kita agar kita menjadi muslim yang sempurna: pemahaman yang mendetail, iman yang mendalam dan amal yang berkesinambungan.


PERTAMA, PEMAHAMAN YANG MENDETAIL (al fahmu ad daqiiqu)

Pemahaman yang bermula dari pengetahuan (ilmu) adalah titik tolak. Segala sikap dan perbuatan seorang manusia bertolak dari apa yang dia ketahui dan pahami. Tidak mungkin seseorang menjadi muslim yang sempurna jika ia tidak memahami ajaran Islam. Pemahaman dan ilmu laksana cahaya yang menerangi. Tatkala kita meniti sebuah jalan dalam kondisi gelap gulita kita tidak mampu melihat dan mengetahui kondisi jalan yang kita tempuh. Kita tidak dapat mengetahui apakah di hadapan kita terdapat lubang serta di kanan dan kiri kita terdapat jurang yang menganga? Sekiranya dipaksakan melalui jalan yang gelap gulita tersebut, sangat mungkin seseorang tidak akan sampai di ujung tujuan. Sangat mungkin ia akan terperosok ke dalam lubang-lubang yang ada di jalan tersebut, atau terjatuh ke dalam jurang yang ada di kiri-kanannya lantaran tidak terlihat jelas. Ia juga tidak menyadari adanya persimpangan jalan yang ada di hadapan sehingga boleh jadi ia tetap nyaman berjalan padahal ia telah melalui jalan yang menyimpang.

Demikian halnya seseorang yang meniti jalan Islam ia membutuhkan cahaya yang menerangai dan menampakan segala rambu, hal itu tidak lain adalah ilmu dan pemahaman.

Pemahaman yang dikehendaki adalah:
a. Pemahaman yang mendetail (al fahmu ad daqiiqu), yakni memahami Islam secara utuh. Islam adalah sistem yang lengkap mencakup seluruh aspek kehidupan manusia. Islam adalah negara sekaligus tanah air. Ia adalah pemerintahan dan umat, akhlaq sekaligus kekuatan, kasih sayang dan keadilan. Islam juga meliputi wawasan dan perundang-undangan ataupun ilmu dan ketetapan. Islam juga meliputi materi dan harta sekaligus kerja dan kekayaan. Ia adalah jihad dan dakwah, tentara sekaligus fikrah (ide pemikiran), sebagaimana ia adalah aqidah yang jujur dan ibadah yang benar.

Pemahaman tentang Islam harus utuh dan menyeluruh tidak boleh parsial (juz’iyyah). Jangan sampai pemahaman seorang muslim layaknya pemahaman tiga orang buta yang dihadapakan seekor gajah. Setelah diberikan kesempatan memegang gajah, masing-masing menceritakan tentang gajah. Seseorang mengatakan: “Gajah itu seperti tiang listrik, kokoh berdiri”. Orang kedua menyanggah penjelasan orang pertama dan menegaskan bahwa gajah itu seperti tali, panjang dan lentur. Sementara orang ketiga juga punya penjelasan bahwa gajah itu lebar dan tipis layaknya daun. Ketiga orang tersebut sesungguhnya telah menjelaskan tentang gajah, akan tetapi tidak utuh. Mereka hanya memahami gajah secara sepotong-sepotong. Masing-masing hanya menjelaskan kaki, ekor dan telinga gajah.

Pemahaman yang tidak utuh terhadap Islam menyebabkan distorsi. Karena pemahaman yang tidak utuh, ada yang beranggapan Islam hanyalah sholat, artinya kalau sudah menunaikan sholat berarti cukup. Ada yang menambah tidak hanya sholat, tapi juga puasa. Seolah-olah yang dimaksud Islam hanyalah dua hal itu saja. Singkatnya, secara umum banyak di antara muslim yang memahami Islam hanya sebatas Rukun Islam yakni, syahadat, sholat, zakat, puasa dan haji. Atau ada juga yang melokalisir Islam hanya sebatas aktifitas-aktifitas di masjid. Adapun aktifitas yang lain seperti aktifitas rumah tangga, masyarakat, perekonomian, pendidikan, politik dan lain sebagainya dianggap tidak ada sangkut-pautnya dengan Islam.

b. Pemahaman yang benar (al fahmu ash shahih), yakni pemahaman yang merujuk kepada sumber yang benar. Sumber ajaran Islam tidak lain adalah Al Qur-an dan As Sunnah. Dengan demikian pemahaman Islam kita harus merujuk kepada Al Qur-an dan As Sunnah bukan semata perkataan orang yang tidak jelas sumbernya.

Sabda Rasulullah saw: “Aku tinggalkan di tengah-tengah kalian dua perkara yang tidak akan tersesat selama-lamanya selama kalian berpegang teguh kepada keduanya, yaitu: kitab Allah (Al Qur-an) dan sunnah nabi-Nya (Hadits)”

Al Qur-an dipahami sesuai dengan kaidah-kaidah bahasa Arab tidak boleh serampangan. Sedangkan hadits-hadits nabi dipahamai dengan menyandarkan kepada para periwayat (rawi) yang kredibel dan terpercaya.

Adapun sarana untuk mendapatkan pemahaman adalah belajar (thalabul ‘ilmi). Bagi seorang muslim kewajiban thalabul ‘ilmi melekat sejak dari buaian hingga ke liang lahat. Tidak ada kamus berhenti belajar bagi seorang muslim. Belajar tidak hanya semasa sekolah formal di SD, SMP, SMA, Universitas ataupun pesantren.


KEDUA, IMAN YANG MENDALAM (al imaanu al ‘amiiqu)

Yakni keyakinan yang kokoh akan kebenaran Islam. Keimanan menuntut totalitas. Sebagai seorang muslim kita harus meyakini bahwa hanya Islam yang benar (haq) sedangkan selain Islam adalah salah (bathil). Hanya Islam yang mampu menyelamatkan manusia dan menghantarkan pada keberuntungan dan kebahagiaan.

Sesungguhnya agama (yang diridhai) disisi Allah hanyalah Islam. Tiada berselisih orang-orang yang telah diberi Al Kitab (yakni Kitab-Kitab yang diturunkan sebelum Al Quran) kecuali sesudah datang pengetahuan kepada mereka, karena kedengkian (yang ada) di antara mereka. Barangsiapa yang kafir terhadap ayat-ayat Allah Maka Sesungguhnya Allah sangat cepat hisab-Nya. (Ali ‘Imran: 19)

Barangsiapa mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) daripadanya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi. (Ali Imran: 85)

Keyakinan “semua agama baik dan benar” bertentangan dengan totalitas keimanan. Apalah artinya kita memilih Islam sementara pada saat yang sama kita beranggapan ada agama di luar Islam yang juga baik dan benar.

Sebagai sebuah keyakinan ia harus tegas, hitam dan putih, benar dan salah. Tanpa keyakinan yang demikian orang tidak akan terdorong untuk sungguh-sungguh menjalankan agamanya. Walaupun dalam kehidupan keseharian Islam tetap memberikan panduan dan aturan bagaimana semestinya seorang muslim hidup dan bergaul dengan orang-orang yang berbeda keyakinan atau berbeda agama.


KETIGA, AMAL YANG BERKESINAMBUNGAN (al ‘amal al mutawashshilu)

Islam adalah syari’at Allah untuk manusia. Ia adalah ajaran serta aturan yang membimbing manusia dalam kehidupannya di dunia. Manusia akan hidup dengan harmoni, nyaman dan bahagia manakala ia mengikuti aturan Allah ini.

Sebaik apapun aturan ia tidak akan memberikan manfaat apapun jika tidak dibarengi dengan pelaksanaannya.

Kesempurnaan keislaman seseorang terefleksi dengan komitmennya dalam pengamalan.

Hasan Al Bashri mengatakan bahwa kebanyakan manusia dalam kondisi tidak mengetahui (jahil) hanya sedikit yang tahu (‘alim). Dari sedikit yang tahu, lebih sedikit lagi yang mengamalkan (‘amil). Dari sedikit yang beramal lebih sedikit lagi yang ikhlas, dan dari sedikit yang ikhlas lebih sedikit lagi yang istiqomah.

Wallahu a’lam bish showab.

Judy Muhyiddin, S.Sos.I.

0 komentar:

Posting Komentar